JANGAN TAKUT JADI JANDA



KETIKA KEADAAN MENGHARUSKAN ANDA UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN PAHIT Sesuatu yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah SWT adalah PERCERAIAN.Konon katanya Arsy (Singgasana Allah SWT) pun sampai berguncang ketika di muka bumi terjadi sebuah perceraian. Belumlagi jika membayangkan dampak buruk yang terjadi akibat perceraian.Perseteruan antara mantan Suami vs mantan Isteri, permusuhan antar keluarga, rebutan anak, rebutan harta, anak yang frustasi dan terjerumus pada hal-hal negatif dsb.Pantaslah bila banyak pasangan yang sangat menakutkan terjadinya perceraian.Terlebih lagi bagi seorang wanita, perceraian merupakan satu hal yangsangat mengerikandan tak boleh terjadi dalam hidupnya.

Namun manusia hanya bisa berencana. Jika Tuhan berkata lain, apa boleh buat. Meski tak ada seorangpun manusia di dunia iniyang menginginkan sebuah perceraian, tapi jika keadaan sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersatu dalam sebuah ikatan perkawinan, maka pada akhirnya perceraianpun menjadi pilihan terbaik yang harus diambil meskipun itu pahit. Begitu pula yang terjadi dalam hidup saya. Sungguh tak pernah terbayangkan sama sekali jika ternyata saya akan menjadi seorang janda.

Berbagai ujian ringan, sedang dan berat pernah saya alami selama saya menjanda 10 tahun lamanya. Menghadapi kesulitan ekonomi, terlilit hutang, cekcok dengan orang tua, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, jadi bahan pergunjingan orang, difitnah orang, ditipu orang, dihina orang, diadudomba orang, didzalimi orang dll semua sudah pernah saya rasakan. Namun berkat kasih sayang dan pertolongan Allah SWT serta do’a dan dukungan dari orang-orang yang menyayangi saya, Alhamdulillah saya bisa melewati masa-masa sulit itu dan bisa bertahan hidup sampai sekarang. Tulisan ini hanyalah sepenggal kisah anak Adam yang harus melakoni skenario Allah SWT dalam perjalanan hidupnya. Memang terlalu kecil bila dibandingkan dengan kisah hidup orang-orang hebat pada umumnya. Namun dari sesuatu yang kecil ini, besar harapan saya agar tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi saudara-saudara saya yang kebetulan ditakdirkan menjadi janda sehingga mereka kemudian bisa menjadi orang-orang yang hebat.

Perceraian bukanlah akhir dari segalanya. Masih banyak hal positif yang bisa kita lakukan saat harus menjadi seorang single parent. Yang penting kita harus mempersiapkan fisik dan mental kita semaksimal mungkin agar tidak mudah rapuh dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT karena menjanda itu tidak mudah. Terpaksa bercerai dengan Suami Saya lahir 40 tahun lalu di sebuah desa. Ayah saya seorang Perwira menengah TNI AD dan Ibu saya bekerja sebagai PNS di sebuah Instansi Pemerintah. Sejak kecil saya merasa hidup bahagia walaupun penuh keprihatinan. Saat berusia 11 tahun,Ayah saya meninggal dunia.Selanjutnya saya diasuh oleh Kakek tapi beliaupun kemudian meninggal dunia pada saat saya berusia 17 tahun.Setelah lulus SMA, saya melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka sambil bekerja sebagai Reporter di sebuah Media lokal dan aktif dalam sebuah Parpol Islam. Saatitu saya juga sempat mencalonkan diri menjadi Anggota Legislatif pada Pemilu tahun 1999 namun perolehan suaranya tidak mencukupi untuk duduk menjadi Anggota DPRD Kabupaten. Aktivitas di Partai inilah yang mempertemukan saya dengan seorang Pria yang selanjutnya menjadi Ayah dari anak-anak saya.

Pada tahun 2000, saya menikah. Siapa sangka jika dalam perjalanan hidup saya selanjutnya, ternyata saya harus mengalami ujian berat karena gagal dalam rumah tangga dan mengakibatkan saya harus menyandang predikat Janda selama bertahun-tahun lamanya. Sebuah perjalanan hidup yang sungguh berat untuk dijalani ketika saya harus menjanda dalam usia yang masih terbilang muda, anak pertama masih berusia 1,5 tahun, tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mendapat tunjangan pula dari mantan suami karena beliau dalam kondisi sakit. Sedangkan pada saat jatuh talak, sayapun dalam kondisi sedang mengandung anak kedua (usia kehamilan saat itu baru 4bulan).

Dunia rasanya seperti kiamat ketika saya mendadak diceraikan oleh Suami dengan alasan ingin memberikan kesempatan pada saya untuk hidup lebih baik karena kondisinya yang sakit bertahun-tahun lamanya dan tak kunjung sembuh juga. Padahal sejak awal menikah, saya sudah menyatakan siap lahir bathin menerima kondisinya. Tapi suami dan mertua tetap bersikeras untuk memilih perceraian sebagai solusi terbaik bagi kami. Akhirnya dengan berat hati sayapun menerima keputusan itu. Hari pertama saya kembali lagi ke rumah orang tua, sungguh merupakan hari yang tak akan terlupakan dalam hidup saya. Saat itu perasaan sedih, malu dan takut bercampur jadi satu. Sedih memikirkan nasib diri dan anak-anak, malu dengan keluarga, tetangga dan teman-teman serta takut membayangkan betapa beratnya hari-hari yang akan saya jalani mulai esok hari dan selanjutnya sehingga minggu pertama berada di rumah orang tua, saya hanya mengurung diri di kamar, menghabiskan waktu dengan melamun dan menangis. Apalagi bila melihat Si Sulung yang sering menangis mencari-cari bapaknya, sungguh hati ini bagai teriris rasanya. Meskipun saatitu dia belum bisa berbicara, tapi saya yakin bathinnya merasakan kehilangan yang teramat dalam.

Tapi semakin lama saya berpikir, tidak ada gunanya juga kalau saya terus-menerus meratapi nasib karena keadaan tidak mungkin berubah jika saya terus berdiam diri. Life must go on, ada 2 anak yang sudah diamanahkan oleh Allah SWT kepada saya. Mereka harus saya rawat, didik dan besarkan sampai kelak menjadi orang yang bermanfaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa. Saya harus bangkit dan berjuang untuk menata hidup yang lebih baik lagi di masa yang akan datang ! Dengan mengucap Bismillah, sayapun mulai membuka diri dengan dunia luar. Meski banyak mendapat sorotan publik karena saya hamil dalam keadaan menjanda, tapi saya tetap semangat untuk melakukan berbagai aktivitas positif yang menghasilkan uang. Pada Trimester pertama kehamilan saya, Alhamdulillah sayamendapat tugas menjadi petugas Sensus dan mendapat honor lumayan besar.

Badan sayapun terasa semakin sehat karena setiap hari harus berkeliling kampung mencari data ke setiap rumah penduduk. Saat kehamilan saya menginjak usia 8 bulan, Alhamdulillah sayapun kembali mendapat tugas menjadi Petugas Sensus. Diangkat menjadi PTT Setelah selesai semua tugas sensus, saya mengajukan lamaran untuk menjadi Guru honorer Bahasa Inggris di sebuah Sekolah Dasar. Ternyata saya diterima walaupun sebenarnya pendidikan formal saya hanya lulusan SMA karena study saya di UT tidak dilanjutkan. Pada saat yang bersamaan, saya pun mendaftarkan diri menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) di sebuah Instansi Pemerintah. Alhamdulillah di sinipun lamaran saya diterima. Sehingga dalam seminggu, saya bekerja di dua tempat dan pada hari-hari terakhir menjelang persalinan, Alhamdulillah saya mendapat anugerah luar biasa dengan mendapatkan SK kontrak kerja dari Bupati dengan honor sebesar Rp.200.000,- perbulan. Tahun 2003, uang sebesar itu bagi saya terasa sangat berarti.

Pekerjaan sebagai Guru Bahasa Inggris di SD dengan honor sebesar Rp.50.000,- perbulanpun terpaksa saya tinggalkan karena sudah terikatkontrak kerja dengan Pemda. Dari berbagai penghasilan yang saya terima selama hamil, Alhamdulillah saya bisa membiayai seluruh keperluan persalinan dan syukuran kelahiran anak kedua. Karena Kasih sayang dan pertolongan Allah SWT, Alhamdulillah proses persalinan sayapun begitu mudah, lancar dan cepat. Hanya merasakan mulas-mulas yang luar biasa sakit sekitar 30 menit, tanpa didampingi suami, tanpa harus pergi ke Rumah Sakit, hanya ditolong oleh seorang Bidan dan Dukun beranak, saya melahirkan anak kedua tepatsaat seluruh ummatIslam sedang melaksanakan ibadah ShalatIedul Fitri. Setelah selesai melewati cuti hamil dan melahirkan, sayakembali bekerja sebagai PTT.

Namun kali ini saya bekerja sambil berjualan untuk menambah penghasilan. Sejak sore hari saya sudah meracik bahan-bahan dan bumbu masakan untuk esok hari. Setelah Shalat shubuh, saya langsung memasak dan menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke kantor. Di kantor ini saya berjualan nasi, masakan, rokok dan kopi. Bulan berikutnya, omzet penjualan semakin bertambah karena selain di kantor, saya juga berjualan gorengan dan jajanan anak-anak. Ada yang langsung dijual di teras rumah, ada juga yang dijual secara keliling. Saat senggang, sayapun bersedia membantu teman untuk berjualan barang-barang kreditan. Karena tidak bermodal, oleh teman ini saya hanya diberi bonus dari setiap barang yang terjual. Saat itu, apapun aktivitas yang menghasilkan uang (asal Halal) pasti saya jalani tanpa mengenal rasa gengsi. Termasuk jasa untuk pembuatan surat-surat penting seperti KTP, KK, AkteKelahiran, Surat pindah, penulisan dan pengetikan makalahpun saya terima.

Bahkan menjadi Makelar penjualan Motor, mobil dan tanah yang umumnya dilakukan oleh kaum Pria pun saya jalani tanpa rasa malu. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah : bagaimana caranya agar saya dan anak-anak bisa tetap survive. Saat itu saya pun sempat beberapa kali mengontrak rumah karena ada ketidaksefahaman dengan orang tua. Saat mengontrak rumah itulah, saya mengalami masa-masa paling pahit dalam sejarah hidup saya. Entah berapa kali kami merasakan kelaparan karena beberapa hari tak makan nasi.Si kecilpun terpaksa saya beri minum air gula setiap hari karena sudah tidak mampu membeli susu formula lagi. Sementara ASI pun sudah mengering.Dalam kondisi serba kekurangan seperti itu, sungguh saya merasa luar biasa lelah baik secara fisik maupun psikologis sehingga hampir putus asa menghadapi hidup ini.

Beruntung masih ada iman yang tersimpan di hati sehingga saya terus mencoba untuk bersabar dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT memohon petunjuk dan pertolonganNYA. Ketika saya berada di puncaksegala ketidakberdayaan, akhirnya dengan segala pertimbangan,saya pun memutuskan untuk kembali ke rumah orang tua.

Kembali ke kampus dan aktif di Organisasi Saat usia anak-anak sudah agak besar dan bisa ditinggal pergi, saya memutuskan untuk kembali melanjutkan kuliah yang dulu sempat terhenti di tengah jalan. Masih jelas teringat dalam benak saya betapa bahagianya saat saya dipinjamkan uang oleh teman kantor saya sebesar Rp.200.000,- untuk biaya pendaftaran kuliah dan langsung saya bayar saat gajian bulan berikutnya. Saat itu gaji kontrak saya sudah naik menjadi Rp.450.000,-. Beruntung nilai-nilai kuliah saya semasa di UT bisa dikonversikan sehingga saya hanya butuh waktu 2 Semester saja untuk menyelesaikan jenjang S1. Otomatis biaya yang harus saya keluarkanpun tidak terlalu besar. Namun walaupun demikian, saya tetap terganjal pada saat-saat terakhir menjelang persidangan karena biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar sehingga saya memilih cuti selama 1 tahun lamanya untuk mencari dana terlebih dahulu. Selain kuliah, sayapun aktif kembali di berbagai organisasi dalam rangka aktualisasi diri setelah sekian tahun lamanya hanya disibukkan dengan urusan mencari rejeki.

Tahun 2007, saya dipercaya menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam organisasi ini, cuma saya yang berjenis kelamin Perempuan dan berstatus PTT. Dari segi usia, sayapun termasuk paling muda nomor dua dibandingkan dengan anggota lain yang kebanyakan jauh lebih tua dan berstatus PNS, bahkan ada beberapa diantaranya yang menduduki posisi penting di Instansinya. Di sini saya benar-benar banyak mendapatkan pengalaman berharga, selain wawasan bertambah, juga belajar bagaimana caranya agar bisa lebih sabar, dewasa dan bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada pertengahan tahun 2008, Alhamdulillah saya mendapat rejeki lumayan besar sehingga saya bisa menyelesaikan masalah keuangan di kampus dan pada tanggal 14 Juli 2008, saya bisa mengikuti Sidang Skripsi dan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Saat itu sayapun diberi kesempatan untuk berbicara di depan Pejabat-pejabat tinggi kampus mewakili seluruh peserta sidang. Rasanya bangga dan bahagia sekali. Menjelang akhir tahun 2008, tepatnya pada tanggal 22 Nopember 2008, sayapun bisa mengikuti acara Wisuda sarjana. Sungguh tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata lagi bagaimana bahagianya saya saat itu. Setelah 17 tahun lulus SMA dan mengalami jatuh bangun, susah payah, berjuang mati-matian agar bisa menjadi sarjana, akhirnya tercapai juga.

Keberhasilan ini saya persembahkan untuk Mama, Almarhum Papa, Almarhum Kakek dan Nenek, anak-anak saya tercinta serta orang-orang yang telah membantu saya. Ada satu hal yang nyaris terlupakan, beberapa saat setelah saya lulus sidang S1 dan sedang beradadi kampus mencari informasi untuk acara wisuda, pegawai TU di sana menyarankan agar saya langsung melanjutkan study ke jenjang S2 mumpung semangatbelajar saya masih tinggi. Saya hanya menanggapi hal itu dengan senyuman karena saya yakin dia Cuma bercanda/meledek saya. Karena dia tau persis selama kuliah S1 saja saya sering terlambat bayar ke kampus, bagaimana mungkin saya mampu membiayai kuliah S2 yang notabene pasti jauh lebih besar lagi ? melihat saya hanya tersenyum, dia kembali menegaskan bahwa dia serius menyarankan itu karena melihat semangat belajar saya yang tinggi,selama kuliahpun berprestasi, usia masih muda dan anak-anak masih kecil.

Dia bilang banyak orang yang ingin kuliah S2 tapi mengalami kesulitan karena terbentur usia, tidak bisa menyerap materi dengan maksimal atau tidak ada biaya karena habis untuk biaya sekolah anak-anaknya. Saya pikirada benarnya juga. Soal biaya mah bisa dicari. Akhirnya hanya dengan bermodalkan uang Rp.200.000,- saya nekad daftar kuliah S2. Jadi pada saat wisuda S1, saya sudah menjadi mahasiswa S2. Akhirnya perjuangan sayapun dimulai kembali. Di masa-masa awal menjalani masa perkuliahan, saya sempat kaget karena (lagi-lagi) teman sekelas saya sebanyak 38 orang ternyata Para pejabatyang jauh lebih senior dari saya.

Mereka berasal dari kalangan menengah ke atas yang kebanyakan memakai mobil matic saat berangkat ke kampus. Sedangkan saya cuma naik bis, angkot dan becak setiap kuliah. Ibu-ibunya pun rata-rata tampil glamour. Baju, Tas dan sepatunya berganti-ganti terus setiap hari. Bahkan untuk biaya perawatan kecantikannya saja setiap bulan ada yang menghabiskan dana jauh lebih besar dari biaya SPP 1 semester. Tapi walaupun demikian saya tidak pernah merasa minder. Apalagi setelah saya terpilih menjadi Ketua Kelas, kepercayaan diri sayapun mulai tumbuh. Selama kuliah, saya juga tidak pernah mendapat nilai C, hanya A atau B saja. Dari situlah semakin bertambah keyakinan saya bahwa mekipun kita mempunyai keterbatasan dari sisi materi ataupun status sosial, tapi kita tidak boleh minder atau pesimis.

Selama menempuh pendidikan S2, saya masih tetap berjualan gorengan. Saat itu saya juga sudah mempunyai kios pupuk dan alat-alat pertanian di depan rumah orang tua. Modalnya hanya etalase kayu (bekas) dan uang cash sekitar Rp.500.000 saja. Tapi beberapa bulan kemudian sudah berkembang menjadi Rp. 2.000.000,-.Kadang-kadang sayapun menerima pesanan snack dan lunch box untuk keper luan rapat. Setiap minggu saya menyetor uang Rp.100.000-Rp.200.000,- ke Bagian Keuangan untuk mencicil SPP karena saya tidak pernah punya uang besar.Atas kebijaksanaan teman-teman, sayapun dibebaskan dari kewajiban membayar iuran kelas sebesar Rp.100.000,-perbulan.

Bila ada acara wisata keluar kota, saya juga tidak pernah ikut karena dana saya memang sangat terbatas . Sedangkan teman-teman saya hampir setiap bulan mengagendakan acara refreshing keluar kota. Tahun-tahun penuh keberkahan Pada Bulan Agustus 2009, bertepatan dengan ulang tahun saya yang ke-36, ternyata saya dinyatakan lulus menjadi CPNSD (lulus tanpa tes karena saya sudah mengabdi selama 6 tahun menjadi PTT).Subhanallah Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sekali dengan anugerah yang luar biasa ini. Meskipun study S2 saya belum selesai dan hanya ijazah S1 yang bisa dipakai sebagai awal pengangkatan saya menjadi CPNSD, tapi saya sudah merasa sangat bahagia. Semangat hidup saya semakin tinggi dan rasa optimispun muncul kembali setelah saya diangkat menjadi CPNSD.

Terhitung Mulai Tanggal 1 Januari 2010, saya mendapat SKResmi menjadi CPNSD. Sepanjang tahun 2010 ini ternyata menjadi tahun keberuntungan bagi saya. Saat sedang menikmati masa-masa bahagia dengan kelulusan menjadi CPNSD ini, kebahagiaan saya rasanya semakin lengkap dan sempurna karena pada Bulan Maret 2010 saya bisa membangun rumah sendiri berdekatan dengan rumah orang tua saya. Kemudian pada tanggal 9 Juli 2010, alhamdulilah saya bisa mengkhitankan anak sulung saya dan esok harinya tanggal 10 Juli 2010, sayapun bisa menjalani sidang tesis dengan baik dan lulus S2 dengan predikat sangat memuaskan sekaligus menjadi lulusan terbaik di kelas.

Pada saat mengikutii ujian Penyesuaian Ijazah S2,ternyata sayapun memperoleh nilai tertinggi di tingkatprovinsi dari 110 peserta/PNS se-Kabupaten yang mengikuti ujian saat ini. Selanjutnya, pada tahun 2013, saya pun berhasil memperoleh surat rekomendasi dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten sebagai calon penerima beasiswa S3 dari BAPPENAS. Saya merupakan PNS pertama yang memperoleh rekomendasi tersebut dari kota asal saya. Subhanallah Alhamdulillah, begitu berlimpahnya kasih sayang dan karunia yang sudah Allah SWT berikan untuk saya. Sungguh malu rasanya bila dibandingkan dengan sikap saya selama ini yang sering lalai dalam beribadah.

Saat ini saya memang sudah tidak menjanda lagi karena Allah SWT sudah mengirimkan Suami terbaik untuk saya. Suami saya sekarang adalah seorang Doktor Manajemen yang taat beragama. Alhamdulillah, Beliau sangat menyayangi saya dan mau menerima saya apa adanya. Sejak menikah dengan Beliau, sayajuga berpindah tugas dan berpindah rumah ke tempat yang baru. Dengan cara ber”hijrah” ini besar harapan saya mudah-mudahan sayabisa mengubur masa lalu yang pahit dan berganti dengan masa depan yang lebih indah. Namun walaupun demkian, bukan berarti masalah yang saya hadapi berhenti sampai di sini.

Bukankah hidup itu sendiri identik dengan masalah ? Jadi selama hayat masih dikandung badan, masalah pasti ada walaupun bentuknya berbeda-beda. Hidup juga adalah sebuah proses. Selama masih diberi umur oleh Allah SWT, saya hanya bisa terus berusaha untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Wallahu a’lam bisshawwab…

0 ulasan :

Post a Comment